Wisata bukan merupakan kegiatan baru di kalangan masyarakat, namun pada hakekatnya kegiatan-kegiatan perjalanan (wisata) sudah dilakukan orang sejak zaman dahulu, meskipun perjalanan tersebut dengan berbagai macam tujuan. Saat ini kegiatan wisata juga makin banyak dilakukan orang mengingat dengan adanya pertambahan penduduk, serta ditunjang pula dengan kemajuan teknologi. Ini mengakibatkan pariwisata merupakan subsektor kegiatan tersendiri yang bergerak seirama dengan perkembangan zaman. Selain itu, wisata merupakan salah satu kegiatan yang memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta antarbangsa. Oleh karenanya, penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik.
Di dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, kata wisata (tourism) yang pertama kali muncul mendeskripsikan atau menerangkan bahwa wisata merupakan perjalanan untuk mengisi waktu luang. Konsepnya ini bisa dilacak lagi dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa atau Mediterania. Sementara mass tourism (wisata massal) yang berkembang di Amerika muncul ketika sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam (natural tourism). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain, hiking, biking, sailing, dan camping.
Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Di Undang-Undang No 10 Tahun 2009 juga disebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Di dalam dunia pariwisata istilah obyek wisata mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang menjadi daya tarik bagi seseorang atau wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Ada beberapa sumber atau jenis obyek yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi seseorang untuk datang berkunjung ke daerah tujuan wisata antara lain: a) Sumber-sumber yang bersifat alamiah (pemandangan alam, gunung dan sebagainya, b) Sumber-sumber yang bersifat manusiawi (perilaku aktivitas seperti tarian, upacara perkawinan, dan sebagainya), c) Sumber-sumber buatan manusia (seperti sisa peninggalan kebudayaan masa lampau yaitu mesjid, candi dan sebagainya).
Lalu, bagaimana dengan Indonesia bagian Timur?
Bila ingin pergi ke Indonesia bagian Timur jangan lupa singgah di Pulau Flores tepatnya di Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, salah satu kabupaten dari 21 kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini menyimpan potensi alam yang eksotik dan keanekaragaman budaya lokal yang dapat memanjakan pengunjung untuk lebih lama tinggal. Selain sebagai tempat transit (bandar udara dan pelabuhan laut), Sikka juga kaya akan wisata dan budayanya. Semua itu masih alami dan belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Panorama alam laut pun tak kalah menarik pasca tsunami 1992 yang membuat para Diving (penyelam) merasa mempunyai dunia lain di sana. Sementara, aktraksi budaya lokal yang masih ada dan tetap dilestarikan di tengah masyarakat yaitu upacara keagamaan peninggalan Portugis.
Menurut sejarah kata “Sikka” diambil dari nama seorang perempuan kuno bernama Sikka Du’a Go’it. Ia dikenal sebagai pemimpin Sikka di masa lampau, sedangkan Pemerintahan Regional Sikka, dimulai sejak Kerajaan Sikka berdiri dan berkembang yang secara efektif oleh Portugis melalui interaksi sosial dan budaya. Penduduk mayoritas beragama Katolik dan agama lain seperti Islam, Protestan, Hinda, dan Budha yang jumlahnya tidak terlalu banyak menjadikan kehidupan yang harmonis sesamanya.
Ketika saya menginjak kaki di Kota Maumere, terlintas dipemikiran saya adalah banyak bule atau wisatawan asing seperti di Bali. Namun hal yang saya jumpai adalah sebaliknya, malah banyak hotel maupun restoran yang dikelola swasta maupun individu sepi pengunjung baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Fenomena ini terjadi di hampir tempat yang saya kunjungi baik di hotel maupun restoran terutama di kawasan yang mempunyai obyek wisata pantai dan beberapa desa. Bila dikatakan aneh tidak juga, karena beberapa waktu lalu saya mendapatkan informasi di media lokal (Pos-Kupang) bahwa kunjungan para wisatawan tidak lebih dari 2 atau 3 hari. Itupun hanya sebagai transit atau sebagai persinggahan saja bagi para pengunjung untuk melanjutkan perjalanan lagi ke Kabupaten lain yaitu Ende, tempat terdapatnya 3 danau berwarna (Taman Nasional Kelimutu). Ada isitlah di benak saya yaitu saya punya barang orang lain punya nama, sehingga daerah yang mempunyai hasil tidak mendapatkan manfaat.
Permasalahan diatas sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Pun demikian masalah tersebut disebabkan penggunaan potensi yang ada belum maksimal sesuai kebutuhan, kewenangan lahan, dan apa targetnya. Permasalahan ini terjadi karena perencanaan yang masih belum detail dilakukan terutama kesiapan aparat pemerintah dalam mendukung wisata. Perlu di garis bahwahi bahwa membangun wisata tidak hanya dengan dana atau anggaran yang besar melainkan masyarakat dan pemda untuk komitmen bersama. Secara mendetail keberhasilan pengembangan wisata dapat terlaksana apabila seluruh instansi/dinas/lembaga/badan, pengusaha, dan masyarakat yang terkait dalam kepariwisataan, dapat bekerja sama secara terpadu dalam semangat tenggang rasa. Perlu diketahui bahwa daerah kita akan dikunjungi banyak orang jadi sudah siapkah kita?
Bicara promosi terlebih dahulu dilakukan boleh-boleh saja, namun yang dibutuhkan sekarang adalah membungkus produk yaitu produk wisata menjadi menarik dan mau dikunjungi oleh pengunjung bagaimana? Inilah masalah di Sikka saat ini. Kiranya ada beberapa hal yang menjadi masalah lainnya yaitu pelayanan yang belum memuaskan dalam memberikan informasi, dan biaya/harga. Biaya menjadi ancaman bagi wisatawan karena bila mahal maka pengunjung hanya sekali saja akan melakukan kunjungan selebihnya ia akan memberikan informasi kepada teman-teman lain kalau kawasan yang telah dikunjungi harus menggeluarkan banyak biaya termasuk masalah trasportasi lokal. Ini menjadi masalah besar karena obyek wisata yang ada di Sikka saat ini belum banyak di kenal di luar Sikka.
Oleh karena itu, disamping peranan masyarakat, perhatian dan peranan Pemerintah Kabupaten Sikka menjadi kunci utama dalam memanfaatkan potensi di Sikka. Kita harus tegas dan berkomitmen kuat agar dapat terlaksana sesuai dengan harapan yang diinginkan.Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar