Pantai Wailiti

Pantai Wailiti
Panorama pantai dan laut Wailiti, Maumere, Nusa Tenggara Timur memungkinkan kita betah menikmatinya dengan panorama alam lainya terumbu karang.

Jumat, 04 Maret 2011

Senandung Pilu di Teulaga Tujoh

Rabu, 9 Februari 2011, pukul 10.15 WIB, cuaca sangat cerah namun matahari masih enggan keluar. Walaupun demikian suasana di Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh, seperti biasa dengan hiruk pikuk para pelaut menurunkan ikan dari kapal.
Disudut lain sebuah kapal penumpang siap-siap berangkat menuju Teulaga Tujoh (baca; telaga tujuh) atau dikenal dengan sebutan Pulau Pusong, Kecamatan Langsa Barat. Kapal ini biasanya dari Pulau Pusong pukul 07.00 WIB membawa penumpang dan anak-anak sekolah kedaratan Kota langsa. Satu jam kemudian kapal kembali membawa penumpang dan para guru untuk mengajar di Pulau Pusong. Sementara sore harinya pukul 15.00 WIB kapal dari Pulau Pusong kembali ke Kota Langsa dengan membawa penumpang dan guru. Lalu, sejam kemudian kapal kembali ke Pulau Pusong dengan membawa penumpang dan anak-anak sekolah tadi. Aktifitas ini pun saban hari dapat dilihat di Pelabuhan Kota Langsa, Kecamatan Langsa Barat.
Selama 30 menit perjalanan dan jarak tempuh 6 mil, kita dapat melihat hijaunya hutan bakau di kiri dan kanan. Pohon-pohon bakau tersebut mempunyai ukuran kurang lebih 2 sampai 7 meter. Di sisi yang lain bakau dipergunakan untuk pembuatan kayu arang. Namun demikian hamparan hutan bakau tersebut tidak menyambung ke Pulau Pusong karena di kawasan Kuala Langsa banyak terdapat pulau-pulau kecil tanpa penghuni.
Pulau Pusong terletak paling luar dari daratan Kota Langsa. Jarak dari pelabuhan ke Pusong 6 mil dan dari pelabuhan ke Kota Langsa 8 kilometer. Satu mil perjalanan dari Pelabuhan Langsa, kita sudah dapat melihat kawasan tersebut. Kondisi yang terlihat dari kejauhan adalah rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu berimpitan satu dengan yang lainnya atau menyambung. Keunikkan ini menjadikan kawasan ini sangat terisolir karena sarana maupun prasana penunjang tidak ada seperti listrik dan air bersih.
Kawasan pulau ini benar-benar sangat unik karena hanya terdapat hamparan pasir yang sangat luas tanpa ada tanaman maupun tumbuhan lainnya. Boleh dikatakan kawasan permukiman ini berada di atas hamparan pulau berpasir. Lalu, di atas pasir itu pulalah masyarakat membangun rumah panggung yang satu dan lainnya bersambung. Pembangunan rumah panggung oleh masyarakat dilakukan untuk menghindari air pasang. Bila air pasang besar maka semua rumah akan terendam air laut 1 sampai 2 meter sehingga rata disekelilingi air laut. Disinilah kelebihan rumah di buat bersambung agar masyarakat bisa melakukan komunikasi satu dengan yang lainnya. Pada saat tsunami 2004 lalu, kawasan ini tidak parah seperti di Banda Aceh. Namun ketinggian air mencapai 4 meter membuat rumah masyarakat juga terhanyut.
Di sisi yang lain, kawasan pulau ini tidak ada suara mobil maupun sepeda motor karena hanya ada jalan setapak. Walaupun demikian kawasan ini hanya dapat mendengar suara kapal-kapal yang melintasi maupun yang singgah ke pelabuhan yang berpenduduk kurang lebih 100 kepala keluarga.
Harapan akan listrik dan air bersih hanya tinggal harapan saja karena masyarakat sudah sering kali mengajukan ke Pemda namun belum terealisasi. Walaupun demikian Pemda telah mengalokasikan rumah di daratan Pelabuhan Kuala Langsa bagi semua penduduk Pusong. Namun sampai saat ini rumah yang disediakan Pemda masih minim ditempati karena masyarakat masih suka tinggal di Pusong dengan kondisi listrik bermesin ginset dan membeli air daratan Kota Langsa. Sementara sekolah yang ada saat ini hanya Sekolah Dasar dan Sekolah Menenggah Pertama. Bila ada yang ingin melanjutkan maka sekolah dapat dilakukan di daratan Kota Langsa.

Jumat, 12 November 2010

Melirik Peluang dan Tantangan Wisata di Sikka

      Wisata bukan merupakan kegiatan baru di kalangan masyarakat, namun pada hakekatnya kegiatan-kegiatan perjalanan (wisata) sudah dilakukan orang sejak zaman dahulu, meskipun perjalanan tersebut dengan berbagai macam tujuan. Saat ini kegiatan wisata juga makin banyak dilakukan orang mengingat dengan adanya pertambahan penduduk, serta ditunjang pula dengan kemajuan teknologi. Ini mengakibatkan pariwisata merupakan subsektor kegiatan tersendiri yang bergerak seirama dengan perkembangan zaman. Selain itu, wisata merupakan salah satu kegiatan yang memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta antarbangsa. Oleh karenanya, penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik.
     
      Di dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, kata wisata (tourism) yang pertama kali muncul mendeskripsikan atau menerangkan bahwa wisata merupakan perjalanan untuk mengisi waktu luang. Konsepnya ini bisa dilacak lagi dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa atau Mediterania. Sementara mass tourism (wisata massal) yang berkembang di Amerika muncul ketika sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam (natural tourism). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain, hiking, biking, sailing, dan camping.

      Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Di Undang-Undang No 10 Tahun 2009 juga disebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

      Di dalam dunia pariwisata istilah obyek wisata mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang menjadi daya tarik bagi seseorang atau wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Ada beberapa sumber atau jenis obyek yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi seseorang untuk datang berkunjung ke daerah tujuan wisata antara lain: a) Sumber-sumber yang bersifat alamiah (pemandangan alam, gunung dan sebagainya, b) Sumber-sumber yang bersifat manusiawi (perilaku aktivitas seperti tarian, upacara perkawinan, dan sebagainya), c) Sumber-sumber buatan manusia (seperti sisa peninggalan kebudayaan masa lampau yaitu mesjid, candi dan sebagainya).

       Lalu, bagaimana dengan Indonesia bagian Timur?

      Bila ingin pergi ke Indonesia bagian Timur jangan lupa singgah di Pulau Flores tepatnya di Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, salah satu kabupaten dari 21 kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini menyimpan potensi alam yang eksotik dan keanekaragaman budaya lokal yang dapat memanjakan pengunjung untuk lebih lama tinggal. Selain sebagai tempat transit (bandar udara dan pelabuhan laut), Sikka juga kaya akan wisata dan budayanya. Semua itu masih alami dan belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Panorama alam laut pun tak kalah menarik pasca tsunami 1992 yang membuat para Diving (penyelam) merasa mempunyai dunia lain di sana. Sementara, aktraksi budaya lokal yang masih ada dan tetap dilestarikan di tengah masyarakat yaitu upacara keagamaan peninggalan Portugis.

      Menurut sejarah kata “Sikka” diambil dari nama seorang perempuan kuno bernama Sikka Du’a Go’it. Ia dikenal sebagai pemimpin Sikka di masa lampau, sedangkan Pemerintahan Regional Sikka, dimulai sejak Kerajaan Sikka berdiri dan berkembang yang secara efektif oleh Portugis melalui interaksi sosial dan budaya. Penduduk mayoritas beragama Katolik dan agama lain seperti Islam, Protestan, Hinda, dan Budha yang jumlahnya tidak terlalu banyak menjadikan kehidupan yang harmonis sesamanya.
  
      Ketika saya menginjak kaki di Kota Maumere, terlintas dipemikiran saya adalah banyak bule atau wisatawan asing seperti di Bali. Namun hal yang saya jumpai adalah sebaliknya, malah banyak hotel maupun restoran yang dikelola swasta maupun individu sepi pengunjung baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Fenomena ini terjadi di hampir tempat yang saya kunjungi baik di hotel maupun restoran terutama di kawasan yang mempunyai obyek wisata pantai dan beberapa desa. Bila dikatakan aneh tidak juga, karena beberapa waktu lalu saya mendapatkan informasi di media lokal (Pos-Kupang) bahwa kunjungan para wisatawan tidak lebih dari 2 atau 3 hari. Itupun hanya sebagai transit atau sebagai persinggahan saja bagi para pengunjung untuk melanjutkan perjalanan lagi ke Kabupaten lain yaitu Ende, tempat terdapatnya 3 danau berwarna (Taman Nasional Kelimutu). Ada isitlah di benak saya yaitu saya punya barang orang lain punya nama, sehingga daerah yang mempunyai hasil tidak mendapatkan manfaat.

      Permasalahan diatas sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Pun demikian masalah tersebut disebabkan penggunaan potensi yang ada belum maksimal sesuai kebutuhan, kewenangan lahan, dan apa targetnya. Permasalahan ini terjadi karena perencanaan yang masih belum detail dilakukan terutama kesiapan aparat pemerintah dalam mendukung wisata. Perlu di garis bahwahi bahwa membangun wisata tidak hanya dengan dana atau anggaran yang besar melainkan masyarakat dan pemda untuk komitmen bersama. Secara mendetail keberhasilan pengembangan wisata dapat terlaksana apabila seluruh instansi/dinas/lembaga/badan, pengusaha, dan masyarakat yang terkait dalam kepariwisataan, dapat bekerja sama secara terpadu dalam semangat tenggang rasa. Perlu diketahui bahwa daerah kita akan dikunjungi banyak orang jadi sudah siapkah kita?

      Bicara promosi terlebih dahulu dilakukan boleh-boleh saja, namun yang dibutuhkan sekarang adalah membungkus produk yaitu produk wisata menjadi menarik dan mau dikunjungi oleh pengunjung bagaimana? Inilah masalah di Sikka saat ini. Kiranya ada beberapa hal yang menjadi masalah lainnya yaitu pelayanan yang belum memuaskan dalam memberikan informasi, dan biaya/harga. Biaya menjadi ancaman bagi wisatawan karena bila mahal maka pengunjung hanya sekali saja akan melakukan kunjungan selebihnya ia akan memberikan informasi kepada teman-teman lain kalau kawasan yang telah dikunjungi harus menggeluarkan banyak biaya termasuk masalah trasportasi lokal. Ini menjadi masalah besar karena obyek wisata yang ada di Sikka saat ini belum banyak di kenal di luar Sikka.

      Oleh karena itu, disamping peranan masyarakat, perhatian dan peranan Pemerintah Kabupaten Sikka menjadi kunci utama dalam memanfaatkan potensi di Sikka. Kita harus tegas dan berkomitmen kuat agar dapat terlaksana sesuai dengan harapan yang diinginkan.Semoga...

Senin, 01 November 2010

THE DEVELOPMENT OF TOURISM in PULO ACEH, ACEH BESAR DISTRICT


Pulo Aceh is an island in Aceh Besar that has many natural tourism potentials. The aim of this research is to examine tourism sector development in Pulo Aceh. This aim included: 1) To develop inventory of tourism potentials and 2) To formulate tourism development plan. This research was conducted from March through April 2009. The methodology used is non-experimental research which consists of descriptive explorative, direct observation and literature studies. Primary data, such as society’s opinion on tourism and direct observation, were collected using Focus Group Discussion (FGD) and in-depth interviews, and secondary data such as literature study. This data was furthermore processed using SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) analysis. The result of this study reveals that Pulo Aceh has potentials for tourism development that include the landscapes, cultural heritages and socio-cultural attractions. SWOT analysis found that weaknesses are relatively dominant, which include lack of human resources ability to manage the available resources, lackof Local Government’s funds for managing and developing tourism objects, lack of publication and information concerning the tourism objects, lack of training in tourism field, poor in accessibility to tourism objects, lack of community involvement in planning and decision making, the vulnerability of tourism objects to natural disasters such as earthquakes and  tsunami, and lack of security. The strategies applied to overcome these matters are that to prepare human resources through technical and managerial training, to involve the community in planning, implementation, evaluation, and product-diversification process, and standard operation procedure (SOP) preparation for managing tourism industry.